Media sosial sempat dianggap alat demokratisasi, tetapi kini terbukti juga menjadi ancaman serius. Hoaks, polarisasi, dan ujaran kebencian berkembang pesat di platform digital.
Pemilu di banyak negara dipengaruhi oleh kampanye digital. Bukan hanya iklan resmi, tetapi juga operasi manipulatif yang memanfaatkan algoritma media sosial.
Di sisi lain, media sosial tetap memberikan ruang bagi aktivisme. Gerakan global seperti #MeToo dan #BlackLivesMatter lahir dari dunia maya.
Masalahnya adalah keseimbangan. Bagaimana melindungi kebebasan berekspresi tanpa membiarkan penyebaran disinformasi merusak demokrasi?
Perusahaan teknologi berada dalam posisi sulit. Mereka dituntut menyaring konten berbahaya, tetapi juga dikritik jika dianggap membatasi kebebasan.
Negara-negara kini mulai membuat undang-undang untuk mengatur media sosial. Namun, regulasi ini sering dituduh sebagai alat kontrol politik.
Kesimpulannya, media sosial adalah pisau bermata dua. Ia bisa memperkuat demokrasi, tetapi juga bisa merusaknya jika tidak diawasi dengan bijak.

