Fenomena Quiet Quitting di Kalangan Gen Z: Mengapa Batasan Kerja Menjadi Prioritas Utama?

Fenomena Quiet Quitting di Kalangan Gen Z: Mengapa Batasan Kerja Menjadi Prioritas Utama?

Fenomena Quiet Quitting (berhenti secara diam-diam) telah menjadi perbincangan hangat, khususnya di kalangan Generasi Z. Istilah ini tidak berarti berhenti dari pekerjaan, melainkan menolak budaya kerja hustle dan komitmen berlebihan. Quiet Quitting adalah keputusan untuk melakukan pekerjaan sebatas yang tertera dalam deskripsi pekerjaan, tidak lebih, sebagai upaya tegas untuk menegakkan batasan antara hidup dan karier.

Dorongan di balik Quiet Quitting berakar dari kesadaran baru akan pentingnya keseimbangan hidup dan kerja (work-life balance). Generasi ini telah menyaksikan bagaimana generasi sebelumnya mengalami burnout (kelelahan kerja) karena terus-menerus bekerja lembur tanpa kompensasi atau pengakuan yang memadai. Bagi Gen Z, identitas diri tidak lagi ditentukan sepenuhnya oleh pekerjaan.

Sikap ini juga merupakan bentuk protes pasif terhadap upah stagnan dan kurangnya keamanan kerja. Jika perusahaan tidak berinvestasi pada loyalitas karyawan, mengapa karyawan harus berinvestasi pada waktu dan energi ekstra mereka? Mereka memprioritaskan kesehatan mental, waktu pribadi, dan hobi di atas tuntutan profesional yang berlebihan.

Meskipun dikritik sebagai kurangnya ambisi, Quiet Quitting sebenarnya adalah negosiasi ulang kolektif atas hubungan karyawan-perusahaan. Hal ini memaksa perusahaan untuk mengevaluasi kembali budaya kerja, beban kerja, dan cara mereka menghargai waktu pribadi karyawannya demi mempertahankan talenta muda yang berharga.

Intisari: Quiet Quitting adalah fenomena Gen Z yang menolak kerja berlebihan dan hanya melakukan tugas sesuai deskripsi pekerjaan, didorong oleh prioritas pada work-life balance dan penolakan terhadap budaya kerja hustle yang menyebabkan burnout.