Energi hijau sering dipandang sebagai solusi untuk menyelamatkan bumi dari krisis iklim. Namun, di balik idealisme itu, ada kenyataan lain: geopolitik energi hijau. Sama seperti minyak dan gas di abad ke-20, kini lithium, kobalt, dan nikel menjadi “emas baru” yang diperebutkan negara-negara.
Dari Fosil ke Terbarukan
Selama berabad-abad, minyak dan batu bara menjadi bahan bakar utama industri dunia. Kini, pergeseran menuju energi hijau seperti solar, angin, dan kendaraan listrik membuat bahan baku baterai menjadi komoditas strategis.
Negara Pemain Utama
- Tiongkok – Menguasai lebih dari 70% produksi baterai dunia.
- Indonesia – Menjadi produsen nikel terbesar, bahan vital baterai EV.
- Kongo – Sumber utama kobalt dunia, meski sering dikaitkan dengan isu HAM.
- Amerika & Eropa – Berusaha membangun rantai pasok sendiri agar tak bergantung pada Asia.
Risiko Geopolitik
Perebutan bahan baku energi hijau bisa memicu konflik baru, mirip dengan perang minyak di masa lalu. Negara-negara bisa menggunakan sumber daya ini sebagai alat tekanan politik dan ekonomi.
Dampak Global
Negara dengan sumber daya melimpah bisa menjadi kekuatan baru di panggung dunia. Sebaliknya, negara yang terlambat berinvestasi dalam energi hijau bisa tertinggal jauh dalam persaingan ekonomi global.
Masa Depan Geopolitik Hijau
Jika tidak ada kerja sama internasional, transisi energi bisa berubah menjadi perebutan kekuasaan. Namun, dengan regulasi yang adil, energi hijau bisa benar-benar menjadi fondasi perdamaian global.
Penutup:
Energi hijau bukan hanya soal menyelamatkan bumi, tetapi juga soal kekuatan politik global. Dunia kini harus memilih: bekerja sama atau bersaing habis-habisan.