India, yang secara tradisional menjadi sumber utama bakat teknologi untuk Silicon Valley, kini menyaksikan pergeseran pola emigrasi besar-besaran menuju pusat-pusat teknologi di Eropa seperti Dublin, Berlin, dan Amsterdam. Fenomena ini didorong oleh kombinasi faktor domestik dan peluang menarik di benua biru, menciptakan tantangan baru bagi industri IT India untuk mempertahankan talenta terbaiknya.
Faktor pendorong utama (push factor) dari India meliputi kejenuhan pasar domestik, tekanan biaya hidup di kota-kota besar seperti Bangalore yang semakin mahal, dan kurangnya peluang kerja yang sesuai dengan spesialisasi deep-tech tertentu. Tingginya persaingan di dalam negeri juga membuat para profesional mencari validasi di luar negeri.
Eropa menawarkan gaji yang kompetitif (khususnya setelah disesuaikan dengan biaya hidup yang lebih rendah di beberapa kota), lingkungan kerja yang lebih seimbang (work-life balance), dan kebijakan imigrasi yang lebih ramah bagi profesional teknologi. Negara-negara seperti Jerman secara aktif mempromosikan skema “Kartu Biru Uni Eropa” untuk menarik insinyur perangkat lunak dan ahli AI dari India.
Selain itu, proses visa H-1B yang semakin sulit dan lambat di Amerika Serikat membuat Eropa menjadi pilihan yang lebih cepat dan pasti bagi para profesional yang ingin berkembang secara internasional. Proses migrasi yang lebih terstruktur di Eropa dianggap mengurangi ketidakpastian karier yang dialami di AS.
Meskipun emigrasi ini menghasilkan remitansi yang penting bagi India, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang “brain drain” atau hilangnya talenta terbaik yang dapat memperlambat inovasi domestik. Eropa, di sisi lain, mendapatkan suntikan tenaga kerja terampil yang penting untuk mengisi kekurangan di sektor digital mereka, memperkuat posisi teknologi benua tersebut.

